Minggu, 31 Mei 2009

Strategi Terpadu Hadapi Korupsi

oleh : akhiril fajri

Sebagai suatu kejahatan luar biasa, korupsi memiliki banyak wajah. Dalam sektor produksi, korupsi ada dari hulu sampai hilir, dari anak-anak sekolah sampai presiden, dari konglomerat sampai kyai. Oleh karena itu upaya menundukkan korupsi juga memerlukan suatu strategi yang terpadu. Artinya pemberantasan korupsi harus melibatkan semua pilar masyarakat. Pilar masyarakat adalah manusia (individu), budaya (yaitu berupa persepsi baik pemikiran maupun perasaan kolektif), dan sistem aturan yang berlaku. Karena itu, korupsi akan lebih efektif diberantas bila pada tiga pilar tersebut dilakukan langkah-langkah yang terpadu.

Bahwa ada individu yang memang bejat, ingin kaya secara instan, atau setidaknya dapat harta dengan jalan pintas, itu memang kenyataan di dunia ini. Tapi, individu yang baik sebenarnya lebih banyak. Andaikata di dunia ini lebih banyak yang tidak baik, tentu kehidupan tidak bisa lagi berjalan normal. Orang selalu dalam ketakutan akan ditipu, atau dalam semangat ingin menipu. Kalau sudah begitu tidak ada lagi hubungan antar manusia, baik berdagang maupun menikah.

Jadi kita harus meyakini bahwa sebagain besar individu pada dasarnya adalah baik, karena Allah telah meniupkan sifat-sifat Agungnya dalam diri manusia sejak masih di dalam rahim


Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan ke dalamnya ruh (ciptaan)-Ku, maka tunduk kamu kepadanya dengan bersujud. (Qs. 15-al Hijr:29)


Bahwa sebagian orang kemudian menjadi koruptor, itu tentu karena pengaruh eksternal yang telah mengaburkan sifat-sifat baik tersebut. Yang paling utama adalah pendidikan, kedua lingkungan dan ketiga media. Tiga hal ini akan membangun suatu budaya, yakni suatu persepsi kolektif dalam masyarakat, apakah suatu hal itu akan dianggap normal atau tidak. Pada masyarakat yang budaya “uang pelicin” sudah dianggap wajar, maka orang tidak akan lagi peka dan merasa itu adalah korupsi. Demikian juga budaya “titip saudara” agar lolos ujian sekolah atau dapat pekerjaan. Andikata dua hal ini dicoba dilakukan pada masyarakat yang memiliki persepsi sebaliknya, bahwa uang pelicin itu haram, dan nepotisme itu awal kehancuran, tentu akan terjadi sesuatu yang berbeda. Budaya adalah sesuatu yang dapat dibentuk. Peran pendidikan sangat besar. Para guru itulah yang menanamkan nilai-nilai sejak dini. Tentu saja mereka pula yang wajib memberi keteladanan. Kalau sang guru sendiri dulu mendapat pekerjaan itu dengan uang pelicin, atau dulu lulus ujian guru dengan mencontek, ya susah. Mereka bagian dari masalah, bukan solusi.

Budaya anti korupsi akan menghasilkan individu-individu anti korupsi, yang akhirnya akan menjadi aktor-aktor pencegahan atau pemberantasan korupsi. Pada masyarakat yang sarat korupsi, tentu saja sulit mendapatkan individu-individu semacam ini. Namun dalam level mikro, seperti pada suatu sekolah, kantor atau suatu organisasi, budaya in bisa ditumbuhkan lewat pendidikan (training-training), keteladanan pimpinan dan lewat kampanye yang massif, misal dengan pemasangan poster-poster yang akan mengingatkan orang akan dampak mengerikan dari korupsi, atau azab Allah yang dijanjikan pada koruptor.

Namun strategi individual dan kultural terkadang masih belum cukup juga. Korupsi ada juga yang terjadi karena aturan-aturan main yang salah. Rumitnya, aturan-aturan ini saling kait mengait.

Sebagai contoh: aturan biaya mutasi kendaraan yang lumayan tinggi (10% harga kendaraan), membuat sebagian orang enggan melakukan balik nama setelah membeli kendaraan bekas. Walhasil di beberapa daerah, cukup sulit menemukan mobil dengan nama pemilik sebenarnya pada STNK. Ketika ada PNS datang ke pulau itu, dan akan menyewa mobil, yang ada hanyalah mobil seperti itu. Padahal di aturan sewa kendaraan dalam pekerjaan pemerintah, diwajibkan nama pemilik mobil seperti dalam KTP harus sama dengan nama di STNK. Lalu solusinya apa? Solusi jangka pendeknya bisa membuat fotocopy STNK palsu atau menyuap agar petugas kantor kas negara dan auditor pura-pura tidak melihat. Cara yang lebih elegan adalah dengan membuat klausul tambahan pada aturan yang formal berlaku, yang kalau tetap dalam bentuk sekarang ini, akan menimbulkan ekses yang rumit di lapangan. Perubahan aturan ini dapat berupa aturan sewanya atau aturan balik nama kendaraannya – misal biayanya diturunkan, agar pemilik kendaraan tertarik untuk balik nama.

Contoh lainnya adalah hubungan kerja yang kabur, sehingga tidak jelas apakah seorang direktur BUMN/BUMD itu perlu dibayar tinggi – meskipun perusahaan merugi – atau dia sebenarnya hanya perlu digaji secukupnya, sedang penghasilannya yang tinggi tergantung prestasinya?

Contoh-contoh di atas adalah contoh merubah aturan yang dapat mencegah korupsi. Contoh lain adalah aturan yang dapat memberantas korupsi setelah terjadi. Penghitungan kekayaan pejabat setelah menjabat untuk dibandingkan dengan sebelumnya adalah salah satu ide yang baik. Kalau ada peningkatan yang tidak wajar dan tidak bisa dijelaskan, harta itu dapat disita untuk negara, atau yang bersangkutan dipidana.

Perspektif Syariah Islam

Perdebatan tentang kebenaran formal dan material dalam masalah korupsi menjadi serius, ketika ada sejumlah kasus yang sangat menyakiti masyarakat, namun kemudian dibebaskan dari segala tuntutan karena secara legal formal dianggap tidak salah. Misalnya, ketika seorang penyelenggara negara membelanjakan sesuatu yang sebenarnya tidak jelas manfaatnya, namun memang sudah masuk di APBN/APBD dan proses tendernya benar.

Mahkamah Konstitusi bahkan telah membatalkan unsur kebenaran material karena dianggap bertentangan dengan aspek kepastian hukum. Dalam perspektif formal, segala hal yang tidak diatur hukum formal, dianggap boleh dilakukan oleh siapapun dan di sisi lain negara tidak boleh mengatur / mengintervensi.

Andaikata kita memandang persoalan ini dari perspektif syariah Islam, maka sesungguhnya tidak perlu ada “kekosongan hukum” seperti itu. Syariah Islam hidup dan pernah dipraktekkan di berbagai kesultanan sebelum penjajah tiba. Syariah dapat langsung diterapkan baik oleh lembaga eksekutif maupun yudikatif. Baru kalau ternyata ada selisih penafsiran yang bersumber pada multimakna ayat Quran itu, dilakukan syura’ / masyura’ dan hasil akhirnya akan diundangkan oleh kepala negara.

Islam memberikan syariah-syariah agar masyarakat dapat hidup dengan aman dan sesuai fitrahnya (manusiawi). Sesuai pilar-pilar masyarakat, maka dapat digali sejumlah hukum-hukum syariah yang ditujukan untuk diterapkan di level individu, untuk membentuk persepsi di masyarakat, dan untuk mengatur hubungan antar anggota masyarakat.

Untuk membangun individu, Islam mewajibkan bagi pemeluknya untuk sholat, membayar zakat, dan puasa Ramadhan; juga mensyariatkan setiap muslim untuk berahlaq mulia, bekerja keras, berpikir cerdas dan berhati ihlas.

Untuk membangun budaya syar’i (yaitu berupa persepsi baik pemikiran maupun perasaan kolektif), Islam mewajibkan dakwah, saling menasehati dan amar ma’ruf nahi munkar. Kiritik konstruktif ke orang yang lebih berkuasa dianggap sebagai jihad utama, dan orang yang dibunuh akibat bicara yang benar, didudukkan sejajar dengan penghulu para syuhada’, yaitu Hamzah bin Abdul Mutholib.

Sementara itu para figur publik disemangati untuk menyayangi rakyat kecil dengan syari’at zakat, shadaqah dan silaturahmi. Pesta terbaik adalah yang mengundang fakir miskin. Para penguasa diperintahkan menjadi teladan bagi rakyatnya, dengan menerapkan hukum terlebih dulu kepada keluarganya. Penguasa adil disebutkan di tempat pertama dari tujuh kelompok yang nanti yang akan dinaungi, pada hari kiamat.

Pendidikan dan media juga diarahkan untuk membentuk manusia-manusia yang seimbang, bukan manusia-manusia materialistis, apalagi yang ingin mendapatkannya secara instan.

Aktivitas bersama (jama’ah) yang paling utama dilakukan oleh organisasi non pemerintah (LSM), ormas atau bahkan parpol adalah juga membentuk persepsi publik yang benar, untuk membangun budaya bermasyarakat yang sehat yang dengan itu melahirkan kader-kader politisi yang juga sehat sehingga mampu mendesak agar pemerintah melaksanakan agenda yang sehat, termasuk agenda memberantas korupsi.

Budaya anti korupsi bukanlah budaya tersendiri, namun merupakan bagian dari jejaring budaya-budaya positif yang harus dibangun. Inti budaya ini adalah membangun rasa malu untuk korupsi, kecil atau besar, diam-diam atau terang-terangan.

Walaupun demikian, di masyarakat tetap akan ada orang yang tidak punya malu, tidak takut kepada aparat hukum, dan tidak sungkan kepada Tuhan. Atau ada juga orang-orang yang kepepet, karena kondisi ekonominya yang menyebabkan malunya dikalahkan. Untuk menolong orang-orang seperti inilah diperlukan sistem, diperlukan campur tangan negara.

Syariah memberi paket sistem penyelenggaraan negara agar bebas korupsi. Dimulai dari pelurusan aturan-aturan yang konyol, yang selama ini perlu “disiasati” (manipulasi, korupsi) agar masih dapat dijalankan. Penyederhanaan birokrasi adalah step berikutnya. Islam menghendaki agar kebutuhan rakyat bisa diurus secepat dan semudah mungkin. Dan terakhir para birokratnya sendiri harus dipilih dari orang-orang yang profesional (kafa’ah), beretos kerja yang benar (amanah) dan takut kepada Allah. Mereka juga kemudian dicukupi semua kebutuhannya oleh negara, agar kemudian mampu menolak gratifikasi dari siapapun. Meski demikian Islam masih mewajibkan agar negara menghitung kekayaan penyelenggara negara ini sebelum dan sesudah menjabat, agar pejabat yang menyimpang terdeteksi lebih awal. Laporan pertanggungjawaban pejabat juga dapat diuji-silang dengan informasi independen, misalnya data statistik, info bisnis, peta dan citra satelit serta keluhan masyarakat. Pejabat yang korupsi akan diberi pidana ta’zir yang sangat keras, yang akan mencegah orang melanggar, membuat jera pelaku dan sekaligus menjadi penebus dosanya.

Untuk membangun sistem yang baik ini perlu dukungan para “orang kuat”, yakni para pemimpin politik atau militer yang kredibilitasnya diakui, ucapannya diikuti, perbuatannya diteladani.

Dukungan ini harus semata-mata karena sistem itu diyakini kebaikannya, setelah mereka mengkaji secara mendalam, lalu memahami bahwa sistem itu dibangun dari Qur’an dan Sunnah yang mereka imani selama ini. Untuk mengajak agar para orang kuat itu mencapai “iman yang produktif” serta menghubungkan iman dengan perubahan sosial inilah diperlukan kerja keras para pendamba perubahan, terutama para pengemban dakwah.

Wallahu a’lam.

Read more...

Sabtu, 30 Mei 2009

KEMBALIKAN KEKAYAAN MILIK RAKYAT

(kritik terhadap PP No. 02/2008)

Oleh: Akhiril Fajri

Peraturan perundangan di negara manapun selalu dibuat manusia dengan mindset (pemikiran mendasar) di dalam benaknya. Pemikiran mendasar ini bisa dipengaruhi oleh banyak faktor seperti keyakinan (ideologi/agama), pengalaman, pengetahuan (literatur), dan juga bisa kepentingan baik pribadi, keluarga, kelompok, rakyat banyak ataupun asing. Begitupun dengan Peraturan Pemerintah (PP) No. 02 Tahun 2008 memiliki dasar pemkiran tertentu.

Kontroversi PP yang disahkan oleh Presiden pada bulan Pebruari lalu menambah permasalahan baru di negeri ini. Coba kita perhatikan pendapat presiden Susilo Bambang Yudhoyono : “PP No 2 Tahun 2008 tidak dimaksudkan untuk merusak hutan lindung. PP tersebut justru untuk meningkatkan kontribusi kepada negara dari 13 perusahaan tambang yang sudah berada di kawasan hutan lindung” (Kompas, 23/02/2008). Mensesneg Hatta Rajasa usai penanaman pohon di Tol Cipularang mengatakan bahwa “Kalau nggak ada PP, mereka tetap kerja di situ dan pemerintah nggak dapat apa-apa,” Minggu (24/2/2008). Menhut MS Kaban kepada wartawan di Bandara Polonia Medan, Jumat (14/3) malam mengatakan : “Ijin dari pemanfaatan hutan produksi dengan pemberlakuan PP itu bisa menambah penerimaan negara dari sektor non pajak diperkirakan Rp 600 miliar hingga Rp 1 Triliun,”.

Apa yang diungkapkan oleh presiden dan para pembantunya di atas, dapat ditarik benang merah bahwa pemerintah ingin meningkatkan kontribusi pendapatan negara dengan jalan melegalkan penyewaan hutan lindung melalui sebuah peraturan. Peraturan ini muncul karena dilatarbelakangi oleh banyaknya pertambangan/usaha-usaha di kawasan hutan dan negara tidak memperoleh apa-apa dari kegiatan tersebut, seperti yang diungkapkan oleh Mensesneg. Jadi, sesungguhnya permasalahannya adalah banyaknya kegiatan penambangan dan usaha-usaha produksi liar yang bersifat non-kehutanan di kawasan hutan.

Mengapa hal itu bisa terjadi? Dimanakah peran negara selama ini dalam menjaga kawasan hutan? Apa yang telah dikerjakan aparat dan birokrasi pemerintah (baik daerah dan pusat) selama ini? Jika mengurusi dan memelihara kawasan hutan saja sudah tidak mampu, apalagi mengurusi rakyatnya. Solusi yang diberikan pemerintah dengan mengeluarkan PP ini sama sekali tidak tepat dan ngawur, itu sama artinya pemerintah telah menggadaikan lingkungan dan mengabaikan kepentingan rakyat.

Bencana yang menimpa masyarakat selama ini, nampaknya belum memberikan pelajaran bagi pemerintah. Banjir, tanah longsor, kekeringan, dan bencana lainnya yang terjadi setiap tahun merupakan akibat dari rusaknya kawasan hutan di negeri ini akibat keserakahan manusia.

Pemerintah seharusnya tegas dalam menindak kegiatan-kegiatan illegal logging, kegiatan-kegiatan illegal di kawasan hutan, selain itu pemerintah harus mengelola sumberdaya alam ini sebaik-baiknya untuk kesejahteraan dan keselamatan rakyat bukan sebaliknya (bencana yang diterima) atau bahkan hanya penerimaan negara yang bertambah Rp. 1 triliun dari penyewaan hutan lindung. Seandainya pemerintah memiliki kemauan yang tulus dan kuat untuk mensejahterakan rakyatnya dengan mengelola sumberdaya alam yang ada, tentu bukan hanya Rp. 1 triliun yang akan didapat, tetapi lebih dari pada itu.

Presiden mungkin dapat mengatakan bahwa PP ini tidak dimaksudkan untuk merusak hutan. Tengoklah kerusakan Papua oleh Freeport. Penambangan emas di Puncak Jaya Wijaya oleh Freeport and Co. mampu meraih total pendapatan US$ 4,2 miliar pada tahun 2005. Ironisnya, 50% penduduk kabupaten Jaya Wijaya hidup di bawah garis kemiskinan; 35% diantaranya hidup di daerah pembuangan (tailing) yang penuh dengan zat berbahaya. Tidak hanya itu, indeks pembangunan manusia Papua dengan indikator kesehatan dan pendidikan menduduki peringkat 27, nomor urut lima terbawah di Indonesia (Walhi, SCTV, 21/11/2006). Papua tidak sendiri, eksploitasi kayu di Kalimantan Timur dengan produksi sekitar 5 juta meter kubik per tahun. Sebagaimana diberitakan dalam Kompas (13/07/2003) produksi batubaranya sekitar 52 juta meter kubik per tahun. Produksi emasnya pernah mencapai 16,8 ton setahun serta perak lebih dari 14 ton pertahun. Bagaimana dengan kondisi rakyatnya? Jauh dari sejahtera. Dari jumlah penduduk yang ada, 313.040 atau 12,4 persen tergolong penduduk miskin. Kemiskinan itu merata hampir di semua kota dan kabupaten. Bukan hanya itu, fasilitas kesehatan dan pendidikan juga masih sangat terbatas.

Jelas sudah, bahwa pemberian ijin perusahaan-perusahaan asing yang ada di negeri ini fokusnya hanyalah bagaimana cara agar produksi meningkat tajam dan keuntungan meningkat bagi perusahaan mereka saja. Kalaupun ada program pemberdayaan masyarakat dan pembangunan daerah sekitar industri, itu kecil sekali. Ingatlah, hanya secuil yang masuk negara, kebanyakan masuk ke perusahaan asing. Maka PP 02/2008 ini dan produk perundang-undangan lainnya (UU Migas, UU Sumberdaya Air, dll) tersebut jelas sangat liberal yang sarat kepentingan asing bukan untuk kepentingan rakyat.

Lahirnya PP No. 02/2008 ini merupakan bukti buah dari pemikiran mendasar yang dianut oleh pemerintah dalam mengelola negeri ini, yaitu ideologi kapitalisme. Dimanapun ideologi ini diemban, tidak akan pernah sedikitpun berpihak kepada rakyat tetapi hanya berpihak kepada kaum pemilik modal (dalam hal ini perusahaan), kelompok, dan kepentingan asing. Negeri ini sudah menjadi negara korporasi yang hanya memikirkan bagaimana mendapatkan keuntungan dengan melupakan kesejahteraan dan keselamatan rakyatnya, lingkungan, dan moral bangsanya.

Tentu saja ada kekeliruan dari pengelolaan kekayaan alam di negeri kita, terutama yang dalam Islam masuk dalam sektor kepemilikan umum seperti emas, perak, timah, minyak, gas dan batubara. Kebijakan ekonomi Indonesia yang berbasis kapitalis telah memberikan sumbangan paling besar bagi kondisi di atas. Selama ini sektor kepemilikan umum lebih banyak diserahkan kepada perusahaan multinasional/asing. Akibatnya, hasil kekayaan alam yang seharusnya kalau dikelola langsung oleh negara bisa digunakan untuk rakyat, disedot oleh perusahaan asing. Keuntungan pun sebagian besar untuk perusahaan asing.

Bayangkan dalam kasus Freeport, Indonesia hanya mendapat royalti sekitar 9,4% plus pajak. Padahal total pendapatan Freeport pada tahun 2005 US$ 4,2 miliar dolar dengan kontrak karya sampai 2041 (Kompas, 21/11/2006). Sementara itu PT Newmont Nusa Tenggara Batu Hijau mendapat 45% dengan cadangan emas 11,9 juta ons. Setoran ke Pemerintah adalah US$ 35,90 juta setiap tahun. Padahal kalau dikelola langsung oleh negara, keuntungan yang diperoleh akan jauh lebih besar. Bukan dengan cara menyewakan lahan hutan lindung dengan tarif yang harus dibayar oleh pengguna sebesar Rp 300 per meter persegi atau Rp 3 juta per hektar. Dalam Islam, menyewakan tanah saja sudah haram, apalagi kalau tanah itu adalah hutan lindung. Penulis tidak terbayang, bencana apalagi yang akan menimpa negeri ini.

Dengan seluruh potensi pendapatan di atas, jika semuanya dikelola oleh negara, problem defisit anggaran negara yang selama ini terus terjadi akan terselesaikan dengan tuntas. Walhasil, mengembalikan kepemilikan umum kepada rakyat tidak bisa ditunda lagi. Islam pun dengan tegas menggariskan kebijakan ini, bahwa kepemilikan umum adalah milik rakyat yang harus dikelola oleh negara secara baik untuk kesejahteraan rakyat. Semoga!.

Read more...

Jumat, 29 Mei 2009

Memenuhi Kebutuhan Pokok Rakyat

(Study Kasus Untuk Provinsi lampung)

Oleh:Akhiril fajri
Humas DPD I Hizbut tahrir Indonesia Lampung

BAGAI tikus mati dalam lumbung padi. Mungkin itulah gambaran yang pas untuk kondisi negeri kita saat ini. Di pasar tradisional, ibu-ibu seperti orang bingung. Mereka mondar-mandir melihat barang dagangan yang ada. Tak berani menawar. Uang mereka cekak alias pas-pasan. Dulu, mereka masih bisa membeli seikat kangkung dan tempe sepotong yang harganya tak lebih dari Rp1.500. Sekarang hal itu sukar sekali untuk ditemukan. Harga minyak melambung dan kebutuhan pokok terus merangkak naik hingga masyarakat bawah makin terjepit hidupnya. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Lampung dan pedagang pasar selama tahun 2005 s.d. 2009, perkembangan harga makanan dan kebutuhan pokok lainnya terus bergerak naik. Beras naik sebesar 70 persen, kedelai meroket dari Rp3.500 menjadi Rp7.500 (114,2 persen), jagung melonjak dari Rp1.100 menjadi Rp2.300, tepung terigu meningkat 83,14 persen, dan minyak goreng meningkat 83 persen. Sementara pertumbuhan ekonomi dibanggakan akan menaik. Padahal, pertumbuhan tidak menjamin terdistribusinya kesejahteraan.
Dalam sistem kapitalisme yang kini tengah diterapkan, kemajuan ekonomi ditentukan oleh besarnya investasi, pertumbuhan, dll. Akibatnya, yang diperhatikan adalah para pengusaha. Sebab, merekalah yang dipandang pencipta kemajuan ekonomi. Kondisi rakyat serba kekurangan tidaklah jadi ukuran. Secara teoretis, jika pertumbuhan ekonomi meningkat, maka kesejahteraan meningkat dan penyerapan lapangan pekerjaan pun meningkat pula. Tapi, realitas menunjukkan bahwa peningkatan pertumbuhan ekonomi di Indonesia lima tahun terakhir tidak diiringi oleh turunnya kemiskinan. Jumlah penduduk miskin terus bertambah. Sebagai contoh di Kota Bandarlampung. Pertumbuhan kota ini tidak sebanding dengan pertumbuhan ekonomi masyarakatnya.

Terbukti, berdasarkan data Bulog Divisi Regional Lampung, penerima beras raskin Kota Bandarlampung 2007 tercatat 43.752 rumah tangga miskin (RTM). Namun, tahun ini menjadi 59.183 RTM. Rendahnya daya beli masyarakat adalah cermin ketahanan pangan bangsa ini tengah terpuruk. Ketahanan pangan suatu bangsa bukan hanya dilihat dari cukupnya pasokan di dalam negeri. Tapi, juga kemampuan masyarakat untuk mendapatkannya.
Sebagai negara agraris, lonjakan harga kedelai, minyak goreng, dan lain-lain, seharusnya tak perlu terjadi. Namun apa daya, Indonesia dan khususnya Lampung mengimpor komoditas tersebut. Bahkan hanya kedelai, sebagian besar hasil pertanian juga diimpor dari negara lain seperti beras, gula, daging ayam, daging sapi, bahkan garam. Data yang terungkap dari Badan Ketahanan Pangan Departemen Pertanian Lampung menyebutkan bahwa produksi bahan pangan pokok tersebut tidak mampu menutupi kebutuhan masyarakat. Tahun lalu, beras masih mengimpor sekitar 1 juta ton, impor gula setiap tahun sekitar 400-500 ribu ton, dan impor daging sekitar 450-500 ribu ekor sapi.
Mengapa kebutuhan pangan tidak sanggup dipenuhi sendiri? Ada berbagai faktor yang menyebabkannya. Pertama, produktivitas tanaman pangan yang masih rendah dan terus menurun. Rata-rata produktivitas padi adalah 4,4 ton per/ha, jagung 3,2 ton/ha, dan kedelai 1,19 ton/ha. Jika dibandingkan dengan negara produsen pangan lain di dunia, khususnya beras, produktivitas padi di Indonesia ada pada peringkat ke-29. Australia memiliki produktivitas rata-rata 9,5 ton/ha, Jepang 6,65 ton/ha, dan Tiongkok 6,35 ton/ha (Hutapea dan Mashar, www.nakertrans.go.id).
Kedua, keberpihakan pemerintah terhadap pertanian yang menyediakan kebutuhan pangan sering kalah oleh industri atau pertanian berorientasi ekspor yang menghasilkan devisa untuk membiayai impor. Sebagai contoh, Lampung merupakan negara produsen CPO (crude palm oil) terbesar di dunia dengan produksi sekitar 43,82 persen dari total produksi dunia dan sebanyak 76,39 persen diekspor. Akibatnya, kebutuhan dalam negeri berkurang atau tidak terpenuhi dan akhirnya langka. Ujung-ujungnya, harga minyak goreng pun melonjak naik seperti saat ini. Hal ini menunjukkan kebijakan pemerintah dan Pemda Lampung yang mengutamakan market friendly daripada people friendly dan tidak memiliki kemandirian kecuali ketergantungan kepada pasar dan asing.
Ketiga, Bank Dunia, IMF, dan lembaga-lembaga bantuan internasional lainnya terus mendesak negara-negara berkembang untuk meningkatkan ekspornya demi kelancaran pembayaran bunga dan cicilan utangnya. Sejak International Moneter Fund (IMF) memangkas fungsi Bulog, perusahaan pelat merah itu hanya menangani komoditas beras. Sedangkan komoditas pangan pokok lainnya diserahkan mekanisme pasar. Buntutnya, ketika harga komoditas pangan seperti gula, minyak goreng, kedelai, dan kebutuhan pokok lainnya bergerak liar, pemerintah selalu keteteran menahan laju kenaikan harga.
Keempat, peningkatan luas areal penanaman-panen yang stagnan bahkan terus menurun, khususnya di lahan pertanian pangan produktif di Pulau Sumatera, Khususnya Lampung. Untuk kasus kedelai, luas panen sejak tahun 2005 sampai tahun 2007 terus menurun. Tahun 2005 memiliki luas panen sebesar 621.541 hektare menjadi 464.427 hektare pada tahun 2007. Alih fungsi lahan pertanian tak bisa dikendalikan. Sejak tahun 2003 sampai 2004 saja, luas lahan pertanian menyusut dari 8.400.030 hektare menjadi 7.696.161 hektare.
Apa sebenarnya tujuan didirikan suatu negara? Di antara tujuan terpenting adalah menyejahterakan rakyat. Landasan terwujudnya kesejahteraan rakyat adalah terpenuhinya kebutuhan pokok setiap individu rakyat. Ajaran Islam tidak menyetujui gedung pencakar langit di mana-mana, tetapi rakyat sengsara; stadion olahraga megah bertaraf internasional tetapi busung lapar dan gizi buruk tak kunjung usai; mobil mewah berseliweran tapi masih banyak rakyat untuk makan hari ini saja susah bukan kepalang. Islam sangat mendorong kemajuan dan pertumbuhan. Tapi, keduanya bukanlah landasan. Yang lebih didahulukan adalah bagaimana setiap orang terpenuhi kebutuhan pokoknya. Inilah yang menjadi konsen pertama. Setelah itu, baru mengusahakan tercapainya berbagai macam ’’kemajuan” secara kolektif.
Allah Swt. menegaskan macam kebutuhan pokok yang harus terpenuhi pada setiap individu. Firman-Nya, ’’Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf”(TQS. Al-Baqarah: 233). Di dalam ayat yang lain disebutkan, ’’Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu” (TQS. Ath-Thalaq :6). Kedua ayat ini dan ayat-ayat senada lainnya menunjukkan bahwa kebutuhan pokok setiap individu rakyat adalah makanan, pakaian, dan tempat tinggal. Berdasarkan hal ini, politik ekonomi Islam merupakan politik ekonomi yang berpihak kepada kebutuhan rakyat. Tidak boleh seorang pun terabaikan kebutuhan pokoknya. Karena itu, indikator utama maju tidaknya perekonomian bukanlah pertumbuhan, inflasi, dll. Tapi, melainkan berapa banyak pengangguran, berapa jumlah penduduk yang tidak memiliki tempat tinggal layak, berapa jumlah orang yang tidak dapat makan layak, dan berapa penduduk yang pakaiannya jauh dari kepatutan.
Untuk itu, setiap orang harus didorong, diberi kemampuan (skill) untuk dapat memenuhi kebutuhan pokok tersebut. Oleh karena itu, pemerintah wajib memperhatikan pada terpenuhinya kebutuhan pokok setiap individu warga. Di samping memberikan peluang yang sama untuk dapat memenuhi kebutuhan sekunder dan tersier. Tidak boleh ada warga yang terkena busung lapar dan gizi buruk, atau jungkir balik hanya sekadar untuk makan sehari sekali.
Ketahanan pangan merupakan salah satu masalah strategis yang hukumnya wajib diperhatikan penguasa, terutama dalam upaya memenuhi kebutuhan masyarakat. Ketahanan pangan juga menjadi bagian dari kekuatan negara untuk menjaga kedaulatan negara dari intervensi asing. Bukan hanya itu. Pangan kini menjadi alat politik bangsa-bangsa Barat guna mempengaruhi situasi politik suatu negara.
Sebetulnya, pemerintah telah mengeluarkan PP No. 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan. Intinya, ketahanan pangan sangat penting untuk membentuk manusia Indonesia yang berkualitas, mandiri, sejahtera melalui ketahanan yang cukup, bergizi, bermutu, dan beragam, serta tersebar merata di seluruh wilayah Indonesia dan terjangkau oleh daya beli masyarakat. Berbekal PP ini, semestinya ketahanan pangan menjadi penting untuk dilaksanakan.
Karena itu, ketahanan pangan yang tangguh harus didukung dengan kekuatan politik suatu bangsa. Pemerintah harus mempunyai sistem politik pertanian yang juga didukung dengan teknologi peningkatan produksi. Islam sebagai sebuah solusi persoalan umat sangat memperhatikan sistem politik pertanian.
Pada dasarnya, politik pertanian dalam Islam dijalankan untuk meningkatkan produksi pertanian, sehingga dapat memenuhi kebutuhan pokok masyarakat. Pilihan tata cara peningkatan produksi merupakan hal yang mubah/boleh untuk ditempuh. Tentu, pilihan cara peningkatan produksi harus dijaga dari unsur dominasi dan dikte asing, serta mempertimbangkan kelestarian lingkungan ke depan. Untuk itu, peningkatan produksi dalam pertanian biasanya menempuh dua jalan: intensifikasi (peningkatan) dan ekstensifikasi (perluasan).
Intensifikasi pertanian dicapai dengan meningkatkan produktivitas lahan yang sudah tersedia. Negara dapat mengupayakan intensifikasi dengan pencarian dan penyebarluasan teknologi budi daya terbaru di kalangan para petani, membantu pengadaan mesin-mesin pertanian, benih unggul, pupuk, serta sarana produksi pertanian lainnya. Sekali lagi, pilihan atas teknologi serta sarana produksi pertanian yang digunakan harus berdasarkan iptek yang dikuasai, bukan atas kepentingan industri pertanian asing. Dengan begitu, ketergantungan pada –serta intervensi oleh– pihak asing dalam pengelolaan pertanian negara dapat dihindarkan. Sebagai contoh, seandainya saja pemerintah mau melirik benih kedelai ’’plus”, hasil temuan Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Lampung sejak tahun 1990-an yang mampu berproduksi dua kali lipat. Jika rata-rata produksi kedelai per hektare adalah 1,2 ton per hektare, maka kedelai plus mampu berproduksi 2,6 ton per hektare. Tentu permasalahan kekurangan pasokan kedelai akan terselesaikan secara mandiri. Kemudian masalah pupuk, pemerintah tidak boleh mengambil kebijakan untuk mengekspor pupuk sebelum kebutuhan pupuk dalam negeri terpenuhi dengan baik dan tidak terjadi kelangkaan pupuk di setiap daerah.
Dalam permasalahan permodalan, negara harus memberikan modal yang diperlukan bagi yang tidak mampu sebagai hibah, bukan sebagai utang. Umar bin al-Khaththab pernah memberikan kepada para petani di Irak harta dari Baitul Mal yang bisa membantu mereka untuk menggarap tanah pertanian serta memenuhi hajat hidup mereka, tanpa meminta imbalan dari mereka. Di samping itu, negara harus melindungi air sebagai milik umum dan sebagai input produksi pertanian. Karena itu, air berikut sarana irigasinya tidak boleh diswastanisasi. Tapi, mengapa pemerintah memberikan kebebasan kepada swasta untuk mengelola sumber daya air (barang milik umum) dengan terbitnya UU SDA Air.
Adapun ekstensifikasi pertanian dapat dicapai dengan; pertama, mendorong pembukaan lahan-lahan baru serta menghidupkan tanah mati. Lahan baru dapat berasal dari lahan hutan, lahan lebak, lahan pasang-surut, dan sebagainya sesuai dengan peraturan negara. Tanah mati adalah tanah yang tidak tampak dimiliki oleh seseorang dan tidak tampak bekas-bekas apa pun seperti pagar, tanaman, pengelolaan, ataupun yang lainnya. Menghidupkan tanah mati itu artinya mengelola tanah atau menjadikan tanah tersebut menjadi siap untuk langsung ditanami.
Di Lampung, jumlah lahan kering sebesar 11 juta hektare, yang sebagian besar berupa lahan tidur. Jenis lahan lain yang masih potensial adalah pemanfaatan lahan lebak dan pasang-surut. Luas lahan pasang-surut dan lebak di Indonesia diperkirakan mencapai 20,19 juta hektare dan 9,5 juta hektare berpotensi untuk pertanian. Lahan-lahan yang baru dibuka biasanya menghadapi berbagai kendala untuk menjadi lahan pertanian, seperti keragaman sifat fisiko-kimia dan biofisik. Oleh karena itu, diperlukan upaya yang serius oleh negara untuk mengoptimalkannya dengan mencari dan menerapkan teknologi budi daya.
Kedua, setiap orang yang memiliki tanah akan diperintahkan untuk mengelola tanahnya secara optimal. Bagi siapa saja yang membutuhkan (biaya perawatan) akan diberi modal dari Baitul Mal, sehingga yang bersangkutan bisa mengelola tanahnya dengan optimal. Namun, apabila orang yang bersangkutan mengabaikannya selama tiga tahun, maka tanah tersebut diambil dan diberikan kepada yang lain. Umar bin al-Khaththab r.a. pernah mengatakan, ’’Orang yang memagari tanah tidak berhak (atas tanah yang dipagarinya) setelah (membiarkannya) selama tiga tahun.” Sehingga tidak ada lagi tanah yang tidak produktif atau kosong.

Dalam Islam, negara –dalam hal ini Khilafah Islamiyah– harus memperhatikan peningkatan produktivitas pertanian, pembukaan lahan-lahan baru, dan penghidupan tanah mati, serta melarang terbengkalainya tanah. Di samping itu, negara harus mencegah masuknya tangan-tangan asing dalam pengelolaan bidang pertanian ini, baik lewat industri-industri pertanian asing maupun lewat perjanjian multilateral WTO. Dengan demikian, terdapat jaminan produksi yang terus berlangsung dan meningkat sehingga terjamin pula pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat dalam Islam. (*)

Read more...

  © Blogger templates ProBlogger Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP