Sabtu, 30 Mei 2009

KEMBALIKAN KEKAYAAN MILIK RAKYAT

(kritik terhadap PP No. 02/2008)

Oleh: Akhiril Fajri

Peraturan perundangan di negara manapun selalu dibuat manusia dengan mindset (pemikiran mendasar) di dalam benaknya. Pemikiran mendasar ini bisa dipengaruhi oleh banyak faktor seperti keyakinan (ideologi/agama), pengalaman, pengetahuan (literatur), dan juga bisa kepentingan baik pribadi, keluarga, kelompok, rakyat banyak ataupun asing. Begitupun dengan Peraturan Pemerintah (PP) No. 02 Tahun 2008 memiliki dasar pemkiran tertentu.

Kontroversi PP yang disahkan oleh Presiden pada bulan Pebruari lalu menambah permasalahan baru di negeri ini. Coba kita perhatikan pendapat presiden Susilo Bambang Yudhoyono : “PP No 2 Tahun 2008 tidak dimaksudkan untuk merusak hutan lindung. PP tersebut justru untuk meningkatkan kontribusi kepada negara dari 13 perusahaan tambang yang sudah berada di kawasan hutan lindung” (Kompas, 23/02/2008). Mensesneg Hatta Rajasa usai penanaman pohon di Tol Cipularang mengatakan bahwa “Kalau nggak ada PP, mereka tetap kerja di situ dan pemerintah nggak dapat apa-apa,” Minggu (24/2/2008). Menhut MS Kaban kepada wartawan di Bandara Polonia Medan, Jumat (14/3) malam mengatakan : “Ijin dari pemanfaatan hutan produksi dengan pemberlakuan PP itu bisa menambah penerimaan negara dari sektor non pajak diperkirakan Rp 600 miliar hingga Rp 1 Triliun,”.

Apa yang diungkapkan oleh presiden dan para pembantunya di atas, dapat ditarik benang merah bahwa pemerintah ingin meningkatkan kontribusi pendapatan negara dengan jalan melegalkan penyewaan hutan lindung melalui sebuah peraturan. Peraturan ini muncul karena dilatarbelakangi oleh banyaknya pertambangan/usaha-usaha di kawasan hutan dan negara tidak memperoleh apa-apa dari kegiatan tersebut, seperti yang diungkapkan oleh Mensesneg. Jadi, sesungguhnya permasalahannya adalah banyaknya kegiatan penambangan dan usaha-usaha produksi liar yang bersifat non-kehutanan di kawasan hutan.

Mengapa hal itu bisa terjadi? Dimanakah peran negara selama ini dalam menjaga kawasan hutan? Apa yang telah dikerjakan aparat dan birokrasi pemerintah (baik daerah dan pusat) selama ini? Jika mengurusi dan memelihara kawasan hutan saja sudah tidak mampu, apalagi mengurusi rakyatnya. Solusi yang diberikan pemerintah dengan mengeluarkan PP ini sama sekali tidak tepat dan ngawur, itu sama artinya pemerintah telah menggadaikan lingkungan dan mengabaikan kepentingan rakyat.

Bencana yang menimpa masyarakat selama ini, nampaknya belum memberikan pelajaran bagi pemerintah. Banjir, tanah longsor, kekeringan, dan bencana lainnya yang terjadi setiap tahun merupakan akibat dari rusaknya kawasan hutan di negeri ini akibat keserakahan manusia.

Pemerintah seharusnya tegas dalam menindak kegiatan-kegiatan illegal logging, kegiatan-kegiatan illegal di kawasan hutan, selain itu pemerintah harus mengelola sumberdaya alam ini sebaik-baiknya untuk kesejahteraan dan keselamatan rakyat bukan sebaliknya (bencana yang diterima) atau bahkan hanya penerimaan negara yang bertambah Rp. 1 triliun dari penyewaan hutan lindung. Seandainya pemerintah memiliki kemauan yang tulus dan kuat untuk mensejahterakan rakyatnya dengan mengelola sumberdaya alam yang ada, tentu bukan hanya Rp. 1 triliun yang akan didapat, tetapi lebih dari pada itu.

Presiden mungkin dapat mengatakan bahwa PP ini tidak dimaksudkan untuk merusak hutan. Tengoklah kerusakan Papua oleh Freeport. Penambangan emas di Puncak Jaya Wijaya oleh Freeport and Co. mampu meraih total pendapatan US$ 4,2 miliar pada tahun 2005. Ironisnya, 50% penduduk kabupaten Jaya Wijaya hidup di bawah garis kemiskinan; 35% diantaranya hidup di daerah pembuangan (tailing) yang penuh dengan zat berbahaya. Tidak hanya itu, indeks pembangunan manusia Papua dengan indikator kesehatan dan pendidikan menduduki peringkat 27, nomor urut lima terbawah di Indonesia (Walhi, SCTV, 21/11/2006). Papua tidak sendiri, eksploitasi kayu di Kalimantan Timur dengan produksi sekitar 5 juta meter kubik per tahun. Sebagaimana diberitakan dalam Kompas (13/07/2003) produksi batubaranya sekitar 52 juta meter kubik per tahun. Produksi emasnya pernah mencapai 16,8 ton setahun serta perak lebih dari 14 ton pertahun. Bagaimana dengan kondisi rakyatnya? Jauh dari sejahtera. Dari jumlah penduduk yang ada, 313.040 atau 12,4 persen tergolong penduduk miskin. Kemiskinan itu merata hampir di semua kota dan kabupaten. Bukan hanya itu, fasilitas kesehatan dan pendidikan juga masih sangat terbatas.

Jelas sudah, bahwa pemberian ijin perusahaan-perusahaan asing yang ada di negeri ini fokusnya hanyalah bagaimana cara agar produksi meningkat tajam dan keuntungan meningkat bagi perusahaan mereka saja. Kalaupun ada program pemberdayaan masyarakat dan pembangunan daerah sekitar industri, itu kecil sekali. Ingatlah, hanya secuil yang masuk negara, kebanyakan masuk ke perusahaan asing. Maka PP 02/2008 ini dan produk perundang-undangan lainnya (UU Migas, UU Sumberdaya Air, dll) tersebut jelas sangat liberal yang sarat kepentingan asing bukan untuk kepentingan rakyat.

Lahirnya PP No. 02/2008 ini merupakan bukti buah dari pemikiran mendasar yang dianut oleh pemerintah dalam mengelola negeri ini, yaitu ideologi kapitalisme. Dimanapun ideologi ini diemban, tidak akan pernah sedikitpun berpihak kepada rakyat tetapi hanya berpihak kepada kaum pemilik modal (dalam hal ini perusahaan), kelompok, dan kepentingan asing. Negeri ini sudah menjadi negara korporasi yang hanya memikirkan bagaimana mendapatkan keuntungan dengan melupakan kesejahteraan dan keselamatan rakyatnya, lingkungan, dan moral bangsanya.

Tentu saja ada kekeliruan dari pengelolaan kekayaan alam di negeri kita, terutama yang dalam Islam masuk dalam sektor kepemilikan umum seperti emas, perak, timah, minyak, gas dan batubara. Kebijakan ekonomi Indonesia yang berbasis kapitalis telah memberikan sumbangan paling besar bagi kondisi di atas. Selama ini sektor kepemilikan umum lebih banyak diserahkan kepada perusahaan multinasional/asing. Akibatnya, hasil kekayaan alam yang seharusnya kalau dikelola langsung oleh negara bisa digunakan untuk rakyat, disedot oleh perusahaan asing. Keuntungan pun sebagian besar untuk perusahaan asing.

Bayangkan dalam kasus Freeport, Indonesia hanya mendapat royalti sekitar 9,4% plus pajak. Padahal total pendapatan Freeport pada tahun 2005 US$ 4,2 miliar dolar dengan kontrak karya sampai 2041 (Kompas, 21/11/2006). Sementara itu PT Newmont Nusa Tenggara Batu Hijau mendapat 45% dengan cadangan emas 11,9 juta ons. Setoran ke Pemerintah adalah US$ 35,90 juta setiap tahun. Padahal kalau dikelola langsung oleh negara, keuntungan yang diperoleh akan jauh lebih besar. Bukan dengan cara menyewakan lahan hutan lindung dengan tarif yang harus dibayar oleh pengguna sebesar Rp 300 per meter persegi atau Rp 3 juta per hektar. Dalam Islam, menyewakan tanah saja sudah haram, apalagi kalau tanah itu adalah hutan lindung. Penulis tidak terbayang, bencana apalagi yang akan menimpa negeri ini.

Dengan seluruh potensi pendapatan di atas, jika semuanya dikelola oleh negara, problem defisit anggaran negara yang selama ini terus terjadi akan terselesaikan dengan tuntas. Walhasil, mengembalikan kepemilikan umum kepada rakyat tidak bisa ditunda lagi. Islam pun dengan tegas menggariskan kebijakan ini, bahwa kepemilikan umum adalah milik rakyat yang harus dikelola oleh negara secara baik untuk kesejahteraan rakyat. Semoga!.

0 komentar:


  © Blogger templates ProBlogger Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP