Minggu, 31 Mei 2009

Strategi Terpadu Hadapi Korupsi

oleh : akhiril fajri

Sebagai suatu kejahatan luar biasa, korupsi memiliki banyak wajah. Dalam sektor produksi, korupsi ada dari hulu sampai hilir, dari anak-anak sekolah sampai presiden, dari konglomerat sampai kyai. Oleh karena itu upaya menundukkan korupsi juga memerlukan suatu strategi yang terpadu. Artinya pemberantasan korupsi harus melibatkan semua pilar masyarakat. Pilar masyarakat adalah manusia (individu), budaya (yaitu berupa persepsi baik pemikiran maupun perasaan kolektif), dan sistem aturan yang berlaku. Karena itu, korupsi akan lebih efektif diberantas bila pada tiga pilar tersebut dilakukan langkah-langkah yang terpadu.

Bahwa ada individu yang memang bejat, ingin kaya secara instan, atau setidaknya dapat harta dengan jalan pintas, itu memang kenyataan di dunia ini. Tapi, individu yang baik sebenarnya lebih banyak. Andaikata di dunia ini lebih banyak yang tidak baik, tentu kehidupan tidak bisa lagi berjalan normal. Orang selalu dalam ketakutan akan ditipu, atau dalam semangat ingin menipu. Kalau sudah begitu tidak ada lagi hubungan antar manusia, baik berdagang maupun menikah.

Jadi kita harus meyakini bahwa sebagain besar individu pada dasarnya adalah baik, karena Allah telah meniupkan sifat-sifat Agungnya dalam diri manusia sejak masih di dalam rahim


Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan ke dalamnya ruh (ciptaan)-Ku, maka tunduk kamu kepadanya dengan bersujud. (Qs. 15-al Hijr:29)


Bahwa sebagian orang kemudian menjadi koruptor, itu tentu karena pengaruh eksternal yang telah mengaburkan sifat-sifat baik tersebut. Yang paling utama adalah pendidikan, kedua lingkungan dan ketiga media. Tiga hal ini akan membangun suatu budaya, yakni suatu persepsi kolektif dalam masyarakat, apakah suatu hal itu akan dianggap normal atau tidak. Pada masyarakat yang budaya “uang pelicin” sudah dianggap wajar, maka orang tidak akan lagi peka dan merasa itu adalah korupsi. Demikian juga budaya “titip saudara” agar lolos ujian sekolah atau dapat pekerjaan. Andikata dua hal ini dicoba dilakukan pada masyarakat yang memiliki persepsi sebaliknya, bahwa uang pelicin itu haram, dan nepotisme itu awal kehancuran, tentu akan terjadi sesuatu yang berbeda. Budaya adalah sesuatu yang dapat dibentuk. Peran pendidikan sangat besar. Para guru itulah yang menanamkan nilai-nilai sejak dini. Tentu saja mereka pula yang wajib memberi keteladanan. Kalau sang guru sendiri dulu mendapat pekerjaan itu dengan uang pelicin, atau dulu lulus ujian guru dengan mencontek, ya susah. Mereka bagian dari masalah, bukan solusi.

Budaya anti korupsi akan menghasilkan individu-individu anti korupsi, yang akhirnya akan menjadi aktor-aktor pencegahan atau pemberantasan korupsi. Pada masyarakat yang sarat korupsi, tentu saja sulit mendapatkan individu-individu semacam ini. Namun dalam level mikro, seperti pada suatu sekolah, kantor atau suatu organisasi, budaya in bisa ditumbuhkan lewat pendidikan (training-training), keteladanan pimpinan dan lewat kampanye yang massif, misal dengan pemasangan poster-poster yang akan mengingatkan orang akan dampak mengerikan dari korupsi, atau azab Allah yang dijanjikan pada koruptor.

Namun strategi individual dan kultural terkadang masih belum cukup juga. Korupsi ada juga yang terjadi karena aturan-aturan main yang salah. Rumitnya, aturan-aturan ini saling kait mengait.

Sebagai contoh: aturan biaya mutasi kendaraan yang lumayan tinggi (10% harga kendaraan), membuat sebagian orang enggan melakukan balik nama setelah membeli kendaraan bekas. Walhasil di beberapa daerah, cukup sulit menemukan mobil dengan nama pemilik sebenarnya pada STNK. Ketika ada PNS datang ke pulau itu, dan akan menyewa mobil, yang ada hanyalah mobil seperti itu. Padahal di aturan sewa kendaraan dalam pekerjaan pemerintah, diwajibkan nama pemilik mobil seperti dalam KTP harus sama dengan nama di STNK. Lalu solusinya apa? Solusi jangka pendeknya bisa membuat fotocopy STNK palsu atau menyuap agar petugas kantor kas negara dan auditor pura-pura tidak melihat. Cara yang lebih elegan adalah dengan membuat klausul tambahan pada aturan yang formal berlaku, yang kalau tetap dalam bentuk sekarang ini, akan menimbulkan ekses yang rumit di lapangan. Perubahan aturan ini dapat berupa aturan sewanya atau aturan balik nama kendaraannya – misal biayanya diturunkan, agar pemilik kendaraan tertarik untuk balik nama.

Contoh lainnya adalah hubungan kerja yang kabur, sehingga tidak jelas apakah seorang direktur BUMN/BUMD itu perlu dibayar tinggi – meskipun perusahaan merugi – atau dia sebenarnya hanya perlu digaji secukupnya, sedang penghasilannya yang tinggi tergantung prestasinya?

Contoh-contoh di atas adalah contoh merubah aturan yang dapat mencegah korupsi. Contoh lain adalah aturan yang dapat memberantas korupsi setelah terjadi. Penghitungan kekayaan pejabat setelah menjabat untuk dibandingkan dengan sebelumnya adalah salah satu ide yang baik. Kalau ada peningkatan yang tidak wajar dan tidak bisa dijelaskan, harta itu dapat disita untuk negara, atau yang bersangkutan dipidana.

Perspektif Syariah Islam

Perdebatan tentang kebenaran formal dan material dalam masalah korupsi menjadi serius, ketika ada sejumlah kasus yang sangat menyakiti masyarakat, namun kemudian dibebaskan dari segala tuntutan karena secara legal formal dianggap tidak salah. Misalnya, ketika seorang penyelenggara negara membelanjakan sesuatu yang sebenarnya tidak jelas manfaatnya, namun memang sudah masuk di APBN/APBD dan proses tendernya benar.

Mahkamah Konstitusi bahkan telah membatalkan unsur kebenaran material karena dianggap bertentangan dengan aspek kepastian hukum. Dalam perspektif formal, segala hal yang tidak diatur hukum formal, dianggap boleh dilakukan oleh siapapun dan di sisi lain negara tidak boleh mengatur / mengintervensi.

Andaikata kita memandang persoalan ini dari perspektif syariah Islam, maka sesungguhnya tidak perlu ada “kekosongan hukum” seperti itu. Syariah Islam hidup dan pernah dipraktekkan di berbagai kesultanan sebelum penjajah tiba. Syariah dapat langsung diterapkan baik oleh lembaga eksekutif maupun yudikatif. Baru kalau ternyata ada selisih penafsiran yang bersumber pada multimakna ayat Quran itu, dilakukan syura’ / masyura’ dan hasil akhirnya akan diundangkan oleh kepala negara.

Islam memberikan syariah-syariah agar masyarakat dapat hidup dengan aman dan sesuai fitrahnya (manusiawi). Sesuai pilar-pilar masyarakat, maka dapat digali sejumlah hukum-hukum syariah yang ditujukan untuk diterapkan di level individu, untuk membentuk persepsi di masyarakat, dan untuk mengatur hubungan antar anggota masyarakat.

Untuk membangun individu, Islam mewajibkan bagi pemeluknya untuk sholat, membayar zakat, dan puasa Ramadhan; juga mensyariatkan setiap muslim untuk berahlaq mulia, bekerja keras, berpikir cerdas dan berhati ihlas.

Untuk membangun budaya syar’i (yaitu berupa persepsi baik pemikiran maupun perasaan kolektif), Islam mewajibkan dakwah, saling menasehati dan amar ma’ruf nahi munkar. Kiritik konstruktif ke orang yang lebih berkuasa dianggap sebagai jihad utama, dan orang yang dibunuh akibat bicara yang benar, didudukkan sejajar dengan penghulu para syuhada’, yaitu Hamzah bin Abdul Mutholib.

Sementara itu para figur publik disemangati untuk menyayangi rakyat kecil dengan syari’at zakat, shadaqah dan silaturahmi. Pesta terbaik adalah yang mengundang fakir miskin. Para penguasa diperintahkan menjadi teladan bagi rakyatnya, dengan menerapkan hukum terlebih dulu kepada keluarganya. Penguasa adil disebutkan di tempat pertama dari tujuh kelompok yang nanti yang akan dinaungi, pada hari kiamat.

Pendidikan dan media juga diarahkan untuk membentuk manusia-manusia yang seimbang, bukan manusia-manusia materialistis, apalagi yang ingin mendapatkannya secara instan.

Aktivitas bersama (jama’ah) yang paling utama dilakukan oleh organisasi non pemerintah (LSM), ormas atau bahkan parpol adalah juga membentuk persepsi publik yang benar, untuk membangun budaya bermasyarakat yang sehat yang dengan itu melahirkan kader-kader politisi yang juga sehat sehingga mampu mendesak agar pemerintah melaksanakan agenda yang sehat, termasuk agenda memberantas korupsi.

Budaya anti korupsi bukanlah budaya tersendiri, namun merupakan bagian dari jejaring budaya-budaya positif yang harus dibangun. Inti budaya ini adalah membangun rasa malu untuk korupsi, kecil atau besar, diam-diam atau terang-terangan.

Walaupun demikian, di masyarakat tetap akan ada orang yang tidak punya malu, tidak takut kepada aparat hukum, dan tidak sungkan kepada Tuhan. Atau ada juga orang-orang yang kepepet, karena kondisi ekonominya yang menyebabkan malunya dikalahkan. Untuk menolong orang-orang seperti inilah diperlukan sistem, diperlukan campur tangan negara.

Syariah memberi paket sistem penyelenggaraan negara agar bebas korupsi. Dimulai dari pelurusan aturan-aturan yang konyol, yang selama ini perlu “disiasati” (manipulasi, korupsi) agar masih dapat dijalankan. Penyederhanaan birokrasi adalah step berikutnya. Islam menghendaki agar kebutuhan rakyat bisa diurus secepat dan semudah mungkin. Dan terakhir para birokratnya sendiri harus dipilih dari orang-orang yang profesional (kafa’ah), beretos kerja yang benar (amanah) dan takut kepada Allah. Mereka juga kemudian dicukupi semua kebutuhannya oleh negara, agar kemudian mampu menolak gratifikasi dari siapapun. Meski demikian Islam masih mewajibkan agar negara menghitung kekayaan penyelenggara negara ini sebelum dan sesudah menjabat, agar pejabat yang menyimpang terdeteksi lebih awal. Laporan pertanggungjawaban pejabat juga dapat diuji-silang dengan informasi independen, misalnya data statistik, info bisnis, peta dan citra satelit serta keluhan masyarakat. Pejabat yang korupsi akan diberi pidana ta’zir yang sangat keras, yang akan mencegah orang melanggar, membuat jera pelaku dan sekaligus menjadi penebus dosanya.

Untuk membangun sistem yang baik ini perlu dukungan para “orang kuat”, yakni para pemimpin politik atau militer yang kredibilitasnya diakui, ucapannya diikuti, perbuatannya diteladani.

Dukungan ini harus semata-mata karena sistem itu diyakini kebaikannya, setelah mereka mengkaji secara mendalam, lalu memahami bahwa sistem itu dibangun dari Qur’an dan Sunnah yang mereka imani selama ini. Untuk mengajak agar para orang kuat itu mencapai “iman yang produktif” serta menghubungkan iman dengan perubahan sosial inilah diperlukan kerja keras para pendamba perubahan, terutama para pengemban dakwah.

Wallahu a’lam.

Read more...

  © Blogger templates ProBlogger Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP